Sabtu, 12 Januari 2008

HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM

HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM
MAKALAH LK II
Ahmad Marthin Hadiwinata*

Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya. Melalui deklarasi universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia terhambat seperti problem politik, dualisme peradilan dan prosedural acara (kontras, 2004;160).
Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia Islam pun mengtur mengenai hak asasi manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin yang harus dibela.
Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM.
Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. berangkat dari itu makalah ini akan mencoba memberikan sedikit penerangan mengenai wacana HAM dalam Islam.


1.2 Rumusan Masalah
Beberapa yang menjadi topik sentral permasalahan dalam makalah ini yang akan dibahas adalah:
Apakah islam itu?
Apakah ham itu?
Adakah ham dalam islam
Seperti apa bentuk ham dalam Islam?
Tujuan Pembahasan Masalah
Setiap kegiatan yang dilakukan scara sistematis pasti mempunyai tujuan yang diharapkan, begitu pula makalah ini. Tujuan pembahasan makalah ini adalah:
Mengetahui apakah Islam itu
Mengetahui apakah HAM itu
Mengetahui apakah ada HAM dalam Islam
Mengetahui bentuk HAM dalam Islam
BAB II
Pembahasan
2.1. Apakah Islam Itu?
Apakah islam itu sebenarnya? Kata Islam berasal dari bahasa arab , dari kata aslama, yuslimu islaman yang berarti menyerah patuh (DR Zainuddin Nainggolan, 2000;9). Menurut Nurcholish Madjid yang dikutip dari buku Junaidi Idrus (2004;87) Islam itu adalah sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan merupakan karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al-Qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah Al-Islam, yakni sikap berserah diri kehadirat Tuhan. Dan bagi orang yang pasrah kepada Tuhan adalah muslim.
Menurut Masdar F. Mas’udi (1993;29) klaim kepasrahan dalam pengertian Islam termaktub dalam tiga tataran. Pertama, Islam sebagai aqidah, yaitu sebagai komitmen nurani untuk pasrah kepada Tuhan. Kedua, Islam sebagai syari’ah, yakni ajaran mengenai bagaimana kepasrahan itu dipahami. Ketika, Islam sebagai akhlak, yakni suatu wujud perilaku manusia yang pasrah, baik dalam dimensi diri personalnya maupun dalam dimensi sosial kolektifnya. Berangkat dari pengertian diatas Islam adalah agama yang mengajarkan seseorang untuk menyerah pasrah kepada aturan Allah (Sunnatullah) baik tertulis maupun tidak tertulis. Dan orang yang menyerah pasrah kepada Tuhan dan hukum-Nya disebut seorang muslim.
Dalam Islam itu terdapat dua kelompok sumber ajaran Islam. Kelompok pertama disebut ajaran dasar (qat’I al-dalalah), yaitu Al-Qur’an dan Hadist sebagai dua pilar utama ajaran Islam. Al-Qur’an mengandung 6236 ayat dan dari ayat-ayat itu, menurut para ulama hanya 500 ayat yang mengandung ajaran mengenai dunia dan akhirat selebihnya merupakan bagian terbesar mengandung penjelasan tentang para nabi, rasul, kitab dan ajaran moral maupun sejarah ummat terdahulu. Kelompok kedua disebut ajaran bukan dasar (zhanni al-dalalah), yaitu ajaran yang merupakan produk ulama yang melakukan ijtihad dan muatan ajarannya bersifat relative, nisbi, bisa berubah dan tidak harus dipandang suci, sakaral ataupun mengikat (Junaidi Idrus, 2004;95-96).


2.2 Apakah Hak Asasi Manusia?
Tonggak berlakunya HAM internasional ialah pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Disini tonggak deklarasi universal mengenai hak asasi manusia yang mengakui hak setiap orang diseluruh dunia. Deklarasi ini ditanda tangani oleh 48 negara dari 58 negara anggota PBB dan disetujui oleh majelis umum PBB. Perumusan penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang bersifat universal, nondiskriminasi, dan imparsial telah berlangsung dalam sebuah proses yang sangat panjang.
Sejarah awal hak asasi manusia di barat berkembang sejak tahun 1215 yaitu dalam Magna Charta yang berisi aturan mengenai tindakan dan kebijakan negara supaya tidak berjalan sewenang-wenang. Isi dari Magna Charta ialah bermaksud untuk mengurangi kekuasan penguasa. Usaha untuk diadakannya Magna Charta ini dimulai dari perjuangan tuan tanah dan gereja untuk membatasi kekuasaan raja dan para anggota keluarga. Pada periode awal ini hubungan antara isi dasar HAM adalah mengenai (hubungan) antara anggota masyarakat yang berada dibawaha kekuasaan yang diatur kebendaanya.
Sekelompok tuan tanah dan ksatria menggalang kekuatan dan mereka berhasil mendesak raja untuk tidak lagi memberlakukan tindakan penahan, penghukuman dan perampasan benda benda secara sewenag-wenang. Raja Jhon terpaksa menyetujui tuntutan ini dengan memberikan cap pengesahan yang berlangsung pada juni 1215 di Runnymede, sebuah padang rumput di pinggir sungai Thames. Isi dari Magna Charta ini ada tiga. Pertama, raja dilarang menarik pajak sewenang wenang. Kedua, pejabat pemerintah dilarang mengambil jagung dengan tanpa membayar. Dan yang ketiga, tidak seorang pun dapat dipenjara tanpa saksi yang jelas. Pengesahan ini menjadi dokumen tertulis yang pertama tentang hak-hak tuan tanah, gereja, ksatria dan orang merdeka atau orang sipil yang belum menikmati kebebasan.
Berlanjut setelah keberhasilan tuan tanah, bangsawan dan orang merdeka untuk memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan raja membangkitkan kesadaran diberbagai kalangan masyarakat terhadap pentingnya hak-hak untuk dihormati dan dilindungi. Pada 1628, kaum bangsawan menuntut hak-hak mereka kepada raja. Mereka mencetuskan Petition Of Right. Yang menuntut sebuah negara yang konstitusional, termasuk didalamnya fungsi parlemen dan fungsi pengadilan. Jhon locke (1632-1704) bersama lord Ashley merumuskan tuntutan bagi toleransi beragama. Selain itu, juga menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak data dicabut seperti hak untuk hidup, kemerdekaan hak milik dan hak untuk meraih kebahagiaan.
Salah satu karya Locke yang terkenal ialah second treaties on civil government yang berisi mengenai negara atau pemerintah harus berfungsi untuk melindungi hak milik pribadi. Pemerintah dibentuk guna menjamin kehidupan, harta benda dan kesejahteraan rakyat. Gagasan locke ini sesuai dengan perkembangan didalam masyarakat inggris yang mulai berubah dari nehgara kerajaan yang absolut menuju kerajaan yang konstitusional.
Pada 1653 instrument of government berhasil didesakkan. Pembatasan kekuasaan raja semakin dikukuhkan dengan lahirnya Habeas Corpus Act pada Mei 1679. Lonceng kebebasan terus berdentang dan pada 16 desember 1689 Bill Of Rights lahir. Mereka tidak hanya berhasil membebaskan diri dari kesewenangan raja. Dan mereka juga berhasil membentuk parlemen yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol kekuasaan raja. Itulah sekilas sejarah awal dari HAM yang berkembang di barat khususnya yang berkembang diwilayah Inggris.
Ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia, yaitu berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan imparsial. Prinsip keuniversalan ini dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma HAM telah diakui dan diharapkan dapat diberlakukan secara universal atau internasional. Prinsip ini didasarkan atas keyakinan bahwa umat manusia berada dimana-mana,disetiap bagian dunia baik di pusat-pusat kota maupun di pelosok pelosok bumi yang terpencil. Berdasar hal itu ham tidak bisa didasarkan secara partikular yang hanya diakui kedaerahahan dan diakui secara local.
Prinsip kedua dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi. Prinsip ini bersumber dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human being are equal). Pandangan ini dipetik dari salah satu semboyan Revolusi Prancis, yakni persamaan (egalite). Setiap orang harus diperlakukan setara. Seseorang tidak boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi latar belakang kebudayaan sosial dan tradisi setiap manusia diwilayahnya berbeda-beda. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang negatif, melainkan harus dipandang sebagai kekayaan umat manusia. Karena manusia berasal dari keanekaragaman warna kulit seperti kulit putih,hitam, kuning dan lainnya. Keanekaragam kebangsaan dan suku bangsa atau etnisitas. Kenekaragaman agama juga merupakan sesuatu hal yang mendapat tempat dalam sifat non-diskriminasi ini. Pembatasan sesorang dalam beragama merupakan sebuah pelanggaran HAM.
Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksud dari prinsip ini penyelesaian sengketa tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam masyarakat. Umat manusia mempunyai beragam latar belakang sosial aupun latar belakang kultur yang berbeda antara satu dengan yang lain hal ini meupakan sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini diimaksudkan agar hukum tidak memihak pada suatu golongan. Prinsip ini juga dimaksudkan agar pengadilan sebuah kasus diselesaikan secara adil atau tidak meihak pada salah satu pihak. Pemihakan hanyalah pada norma-norma ham itu sendiri.
Terdapat dua garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan Hak Positif. Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran keterlibatan negara dalam pemenuhan hak asasi manusia. Pembagian ini tidak berdasarkan baik atau buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya.
Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, bila negara terlalu banyak melakukan campur tangan, maka semakin terhambat pula pelaksanaan hak-hak sipil politik warganya. Peminimalisiran peran negara dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil dan politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to liberty).
Hak yang terkandung dalam hak sipil dan politik ada dua puluh dua hak. Pertama hak atas kehidupan, karena hidup seseorang harus dilindungi. Kedua hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan secara keji. Karena setiap orang berhak untuk memperoleh perlakuan secara manusiawi dan tidak merendahkan martabat. Ketiga, hak untuk tidak dperbudak dan dipekerjakan secara paksa. Keempat, hak atas kebebasan dan keselamatan pribadi. Kelima, hak setiap orang yang ditahan untuk diperlakukan secara manusiawi. Keenam, hak setiap orang untuk tidak dipenjara akibat tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak. Ketidakmampuan sesorang dalam memenuhi suatu perjanjian kontrak, tidak boleh dipenjara. Hanya boleh melalui hukum perdata hanya melalui penyitaan. Ketujuh, hak atas kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal. Kedelapan hak setiap warga asing. Kesembilan, hak atas pengadilan yang berwenang, independen dan tidak memihak. Kesepuluh, hak atas perlindungan dari kesewenangan hukum pidana. Kesebelas, hak atas perlakuan yang sama didepan hukum. Keduabelas, hak atas urusan pribadi. Ketigabelas, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Keempatbelas, hak berpendapat dan berekspresi. Kelimabelas, hak atas kebeasan berkumpul. Keenambelas, hak atas kebebasan berserikat. Ketujuh belas, hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Kedelapanbelas, hak anak atas perlindungan bagi perkembangannya. Kesembilanbelas, hak untuk berpartisipasi dalam politik. Keduapuluh, hak atas kedudukan dan perlindungan yang sama didepan hukum. Keduapuluhsatu, hak bagi golongan minoritas. Keduapuluhdua, larangan propaganda perang dan diskriminasi.
Selain hak hak sipil dan politik diatas hak asasi manusia juga mencakup hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini termasuk dalam pembagan hak positif yang mengusahakan peran negara secara maksimal dalam pemenuhannya. Adanya hak ini dalam HAM universal adalah buah dari perdebatan blok sosialis eropa timur dengan blok liberal. Karena blok sosialis lebih berpegangan pada ekonomi sebagai dasar masyarakat. Kebijakan negara sosialis lebih menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti pendidikan gratis. Sedangkan masyarakat blok liberal lebih menekankan manusia sebagai individu yang bebas. Namun, akhirnya usulan dari blok sosialis diterima. Sehingga HAM universal menganjurkan melindungi dan memnuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya setiap warganya.
Pengakuan dan perlindungan universal atau jaminan normatif atas terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (international covenant on economic, social and culture rights). Ada sepuluh hak yang diakui dalam kovenan tersebut. Hak-hak tersebut dapat diuraikan sebaagai berikut.
Pertama, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kedua, hak atas pekerjaan. Ketiga, hak atas upah yang layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, peluang karir dan liburan. Keempat, hak berserikat dan mogok kerja bagi buruh. Kelima, hak atas jaminan sosial. Keenam, hak atas perlindungan keluarga termasuk ibu dan anak. Ketujuh, hak atas standar hidup yang layak, yakni sandang, pangan dan perumahan. Kedelapan, hak atas kesehatandan lingkungan yang sehat. Kesembilan, hak atas pendidikan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan.
Itulah sekilas gambaran singkat mengenai HAM internasional. Dari mulai sejarah awal Magna Charta sampai ke isi dari HAM internasional yang dibagi atas dua pokok garis besar yaitu hak positif dan hak negatif. Kedua hak itu didasarkan atas partisipasi negara dalam pemenuhannya.
2.3 Adakah HAM dalam Islam?
Pertanyaan adakah ham dalam Islam harus dirunut secara sejarah dialektika HAM dalam Islam. Menurut Anas Urbaningrum hak asasi manusia atau lebih dikenal manusia modern sebagai HAM, telah lebih dahulu diwacanakan oleh Islam sejak empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum deklarasi universal HAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi (Anas, 2004;91). Secara internasional umat Islam yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai “Deklarasi Kairo” mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan syari’ah (Azra).
HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Ini dibuktikan oleh adanya Piagam Madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah mendapatkan pengkuan oleh Islam
Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama dengan adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.
Islam sebagai agama universal membuka wacana signifikan bagi HAM. tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan tema yang senantiasa muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang penegakan agama Islam. Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya Anas Urbaningrum, HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang didasarkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang diserahkan kepada seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya seperti hak-hak khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan sebagainya, merupakan kategori yang kedua ini (Anas, 2004;92).
Berdasarkan temuan diatas akan kita coba mencari kesamaan atau kompatibilitas antara HAM yang terkandung dalam Islam. Akan kita coba membagi hak asasi manusia secara klasifikasi hak negatif dan hak positif. Dalam hal ini hak negatif yang dimaksud adalah hak yang memberian kebebasan kepada setiap individu dalam pemenuhannya.
Yang pertama adalah hak negatif yaitu memberikan kebebasan kepada menusia dalam pemenuhannya. Bebrapa yang dapat kita ambil sebagai contoh yaitu:
Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. Islam menegaskan bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia. Hak ini terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 63 yang berbunyi :
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memlihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keternagan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantar amereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS 5;63)
Hak untuk mendapat perlindungan dari hukuman yang sewenarg wenang. yaitu dalam surat Al An’am : 164 dan surat Fathir 18 yang masing masing berbunyi :
Katakanlah: “Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah sesorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”. (QS 6;164)
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika sesorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali(mu). (QS 35;18)
Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi seperti ini:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS 4;58)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS 49;6)
Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar hati nurani. Yang bisa kita lihat secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat 256 dan surat Al Ankabut ayat 46 yang berbunyi:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada yang thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2;256)
Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: “kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS 29;46)
Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat terdapat dalam surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13:
Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciotakan dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS 4;1)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4;135)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjdaikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS 49;13)
Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga memberikan dalam surat Ali Imran ayat 104-105 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang yang beruntung. (QS 3;104)
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3;105)
Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan yang zhalim dan bersifat tiran. Islam memberikan hak untuk memprotes pemerintahan yang zhalim, secara tersirat dapat diambil dari surat An-Nisa ayat 148, surat Al Maidah 78-79, surat Al A’raf ayat 165, Surat Ali Imran ayat 110 yang masing masing berbunyi:
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 4;148)
Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa Putera Maryam. Yang demikian itu. Disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (QS 5;78)
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan yang munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS 5;79)
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS 7;165)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab Beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka yang ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS 3;110)
Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak positif dalam hak ekonomi sosial dan Islam pun mengandung secara tersirat mengenai hak ini.
Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara tersirat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19, surat Al Jumu’ah ayat 10, yang berbunyi:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dimuka bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS 2;29)
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS 51;19)
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS 62;10)
Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki pengaturan secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9 yang masing-masing berbunyi berbunyi:
Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa’at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 10;101)
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:berdirilah kamu, maka berdirilah kamu, niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58;11)
(apakah kamu hai orang yang musyrik) ataukah orang-orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhrat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas dan pembahasan diatas dapat ditarik keimpulan berdasarkan beberapa analisis. Dari analisis diatas antara HAM yang berkembang di dunia internasional tidak bertentangan antara satu sama lain. Bahkan organisasi Islam internasional yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi HAM.
Kemudian Islam mematahkan bahwa dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Ini dibuktikan oleh adanya piagam madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam dokumen madinah atau piagam madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dalam dokumen itu dapat disimpulkan bahwa HAM sudah pernah ditegakkan oleh Islam
Berdasar analisis diatas Islam mengandung pengaturan mengenai HAM secara tersirat. Dapat kita bagi menjadi sembilan bagian hak asasi manusia dalam islam yang pengaturannya secara tersirat.
Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. surah Al-Maidah ayat 63. Hak untuk mendapat pelindungan dari hukuman yang sewenag wenang yaitu dalam surat Al An’am : 164 dan surat Fathir 18. Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat ayat 6. Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar hati nurani secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat 256 dan surat Al Ankabut ayat 46. Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat terdapat dalam surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13. Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga memberikan dalam surat Ali Imran ayat 104-105. Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan yang zhalim dan bersifat tirani secara tersirat dapat dilihat pada surat an-nisa ayat 148, surat al maidah 78-79, surat Al A’raf ayat 165, surat Ali Imran ayat 110.
Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak positif dalam hak ekonomi sosial dan budaya Islam pun mengandung secara tersirat mengenai hak ini. Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara tersirat terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19, surat Al Jumu’ah ayat 10. Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki pengaturan secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004
Radjab, Suryadi, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, Jakarta: PBHI, 2002
Idrus, Junaidi, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia, Jogjakarta: LOGUNG PUSTAKA, 2004
Pramudya, Willy, Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi, Jakarta: GagasMedia 2004
Nainggolan, Zainuddin S., Inilah Islam, Jakarta: DEA, 2000
Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Penerbit Republika, 2004

PERKUMPULAN HAK

Perkumpulan HAK
Perkumpulan HAK (Hukum, Hak Asasi, dan Keadilan) adalah organisasi non-pemerintah Timor Leste yang bekerja untuk mewujudkan masyarakat Timor Lorosae yang mandiri, terbuka, demokratis, dalam tatanan yang berprinsip kerakyatan. Organisasi ini berawal dari sebuah kantor bantuan hukum yang didirikan pada 20 Agustus 1996 oleh sejumlah aktivis Timor Lorosae pada masa pendudukan Indonesia untuk memberikan pelayanan bantuan hukum kepada orang-orang yang ditahan penguasa pendudukan karena memperjuangkan kemerdekaan. Pada 23 Maret 1997, kantor ini diubah menjadi Yayasan Hukum, Hak Asasi, dan Keadilan (HAK) dan selanjutnya pada November 2002 berubah menjadi Perkumpulan HAK.

Pada masa pendudukan, organisasi ini berusaha membuka mata masyarakat dunia pada pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan penguasa pendudukan Indonesia dan memperlebar ruang gerak bagi perjuangan hak penentuan nasib sendiri. Ketika Timor Lorosae kembali mendapatkan kemerdekaannya, organisasi ini bekerja untuk mewujudkan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang menjamin penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi semua orang.
Perkumpulan HAK bekerja pada tiga tingkatan, yakni kebijakan negara, penegakan hak asasi manusia, dan pemberdayaan rakyat.
Nilai DasarPerkumpulan HAK bekerja berdasarkan nilai-nilai dasar:- Kemanusiaan- Kesetaraan- Keadilan dengan prinsip kerakyatan dan keberlanjutan- Demokrasi dengan prinsip solidaritas, partisipasi, kebebasan, dan pertanggungjawaban.

KepengurusanPerubahan bentuk organisasi dari yayasan menjadi perkumpulan disertai dengan perubahan strukturnya. Pengambilan keputusan tertinggi ada di tangan anggota yang dilaksanakan melalui Rapat Umum Anggota (RUA) yang diselenggarkaan setiap empat tahun sekali dan Rapat Anggota Tahunan. Dalam RUA dibuat Garis Besar Program dan dilakukan pertanggungjawaban Badan Eksekutif dan Majelis Perwakilan Anggota (MPA). Sedang dalam Rapat Anggota Tahunan dilakukan pengesahan kegiatan tahunan dan pengesahan anggota baru.
Di bawah RUA ada dua organ, yaitu Majelis Perwakilan Anggota (MPA) dan Badan Eksekutif. MPA berwenang mengawasi pelaksanaan Garis Besar Program oleh Badan Eksekutif. MPA beranggotakan sembilan, yaitu:
Pendeta Francisco Vasconcelos (Ketua Sinode Gereja Kristen Timor Leste);
Aniceto Guterres Lopes (pengacara, salah seorang pendiri Yayasan HAK, Ketua Komisaris Nasional Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi);
Abdullah Hadi Sagran (Pengurus Centro de Comunidade Islâmica de Timor Leste);
Arlindo Marçal (Duta Besar RDTL untuk Indonesia);
Adaljiza Magno (anggota Parlemen Nasional); Jacinta Correia (Hakim Tinggi);
John Campbell-Nelson (dosen, dulu aktif dalam solidaritas perjuangan kemerdekaan Timor Leste);
Kerry Brogan (aktivis hak asasi manusia, lama bekerja untuk Amnesty International);
Remezia de Fátima (Jaksa).
Badan Eksekutif berwenang menjalankan kegiatan yang kebijakannya telah disusun dalam Garis Besar Program. Badan Eksekutif dipimpin oleh Direktur (untuk periode 2002-2006 dijabat oleh José Luís de Oliveira) dan Wakil Direktur (dijabat oleh Silverio Pinto Baptista). Mereka memimpin:Divisi:
Advokasi Kebijakan
Penanganan Kasus
Pencarian dan Dokumentasi Fakta
Pemberdayaan
Pelayanan Anggota
KelembagaanKantor Cabang (disebut Rumah Rakyat):
Wilayah Timur di Baucau
Wilayah Tengah di Maubisse
Wilayah Barat di Maliana

ProgramDalam rangka mencapai tujuannya, Perkumpulan HAK menyelenggarakan lima program.
Pembuatan rancangan dan rekomendasi kebijakan yang menjamin pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Program ini diimplementasi melalui kegiatan:
Kajian terhadap rancangan peraturan negara;
Pemantauan terhadap kebijakan pendanaan;
Penerbitan buletin Direito dan analisis keadaan hak asasi manusia.
Pemberdayaan Kelompok Masyarakat dan Pembelaan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Program ini diimplementasi melalui kegiatan:
Lokakarya dan pelatihan hak asasi manusia;
Pendidikan Hak Asasi Manusia di desa-desa;
Pemberdayan kelompok-kelompok pengembangan masyarakat;
Pemantauan dan investigasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia;
Bantuan hukum untuk korban pelanggaran hak asasi manusia.
Perlindungan Kearifan, Pengetahuan, Aset dan Kepentingan Masyarakat. Program ini diimplementasi melalui kegiatan:
Penelitian partisipatif yang memberdayakan masyarakat;
Dukungan untuk pengembangan organisasi-organisasi yang bergiat memajukan perekonomian rakyat.
Penguatan Jaringan Penegakan Hak Asasi Manusia. Kegiatan yang dilakukan adalah:
Pengembangan jaringan pendidikan popular;
Pengembangan jaringan advokasi tingkat basis;
Pengembangan jaringan pemantauan bantuan asing;
Pengembangan jaringan analisis kebijakan;
Pengembangan jaringan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia;
Pengembangan jaringan internasional untuk memperjuangkan Pengadilan Internasional untuk Timor Lorosae dengan mengaktifkan kembali jaringan solidaritas internasional pendukung kemerdekaan Timor Lorosae.
Pengembangan Manajemen Organisasi. Pengembangan manajemen dimaksudkan agar kegiatan-kegiatan bisa dilaksanakan dengan efisien dan efektif. Kegiatan yang dicakup program ini adalah:
Pengembangan organisasi dan managemen;
Pengembangan mekanisme kerja yang partisipatif dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan keadaan;
Melengkapi sarana kerja;
Pengembangan kemandirian organisasi;
Pengembangan kemampuan staf.

Kiprah Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh Perkumpulan HAK sejak berdiri pada 1996 hingga sekarang. Berikut gambaran sekilasnya.

Imbangan Antara Hak Ramai dan Hak Individu

Oleh Wong Hon Wai (honwai_wong@hotmail.com)


Mukadimah

Kamus Dewan menakrifkan hak asasi sebagai hak yang dasar atau pokok seperti hak bebas mengeluarkan pendapat, menganut sesuatu agama, bergerak dan lain-lain. [1] Contoh yang diberi itu sebenarnya hanya merujuk kepada makna tradisi hak asasi manusia. Dengan perkembangan zaman, makna hak asasi harus diberi tafsiran yang lebih luas.

Di arena antarabangsa, terdapat 3 dokumen penting berkenaan Hak Asasi Manusia iaitu Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat 1948, Kovenan Antarabangsa Hak-hak Sivil and Politik 1966 dan Kovenan Antarabangsa Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan 1966.

Dalam kedua-dua kovenan antarabangsa tersebut, hak asasi manusia merangkumi tetapi tidak terbatas kepada hak-hak berikut:

(1) Hak sivil dan politik: Hak kebebasan bercakap, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul dan menubuhkan persatuan, kebebasan daripada penderaan dan kesaksamaan di bawah undang-undang.
(2) Hak sosial, kebudayaan dan ekonomi: Hak kepada pendidikan, pekerjaan dan rekreasi, hak menikmati perkhidmatan yang minimum berkenaan kesihatan, tempat tinggal serta persekitaran yang selamat.

Ahli falsafah Barat, Rousseau, telah mengemukakan konsep “Kontrak Sosial” pada tahun 1762.[2] Konsep kontrak sosial menggariskan hubungan antara ahli-ahli masyarakat di mana setiap ahli melepaskan hak individu tertentu untuk mendapatkan keselamatan sosial yang bersifat kepentingan ramai.

Benih yang ditaburkan oleh Rousseau ini telah menampakkan pengaruhnya dalam nas-nas perundangan moden. Sepanjang pembentukan tamadun moden, imbangan antara hak individu dan hak ramai merupakan topik utama dalam perdebatan berkenaan hak asasi manusia.



Perbezaan Paradigma dalam Konsep Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia mulai mendapat tempat rasmi di arena antarabangsa melalui Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat 1948. Perisytiharan tersebut dipelopori oleh Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu yang keahliannya terdiri daripada kebanyakan negara-negara merdeka di dunia.

Kumpulan lain juga menerima pakai piawaian hak asasi manusia. Komuniti Europah (European Community) misalnya telah memaktubkan Konvensyen Europah mengenai Hak Asasi dan Kebebasan Asasi 1950 yang mempunyai kuasa mengikat dari segi undang-undang terhadap negara anggota Komuniti Eropah.

Sementara itu, Majlis Islam juga telah mengisytiharkan Perisytiharan Islam terhadap Hak Asasi Manusia[3] yang berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Perisytiharan ini lebih mementingkan semangat ummah yang membawa knosep komuniti. Setiap hak asasi manusia yang ditera dalam perisytiharan itu membawa bersama tanggungjawab tertentu[4]. Dalam setiap hak asasi manusia yang tertera, semua pihak adalah tertakluk kepada batasan untuk memenuhi syarat moral, ketenteraman awam serta kebajikan ummah. [5]

Bagi tamudun lama Cina pula, susunan masyarakat berasaskan persetujuan dalam keluarga, kemudian dilanjutkan persetujuan itu ke peringkat kampung dan negara.[6]. Susunan masyarakat Cina yang berasaskan fahaman Confucius sememangnya berbeza dengan di negara-negara Barat yang lebih individualistik.

Perbezaan dari satu tamadun ke tamadun yang lain menampakkan perbezaan persepsi antara hak asasi manusia. Di satu pihak terdapat unsur individualistik yang mementingkan hak individu dan bersifat bertentangan dengan hak ramai. Di satu pihak yang lain pula terdapat semangat komuniti yang tinggi yang mementingkan hak ramai daripada hak individu.


Tinjauan terhadap Perundangan yang melindungi Hak Asasi Manusia di Malaysia

Di bawah Bahagian 2, Perlembagaan Malaysia termaktubnya sembilan kebebasan asasi. Secara umumnya, Perlembagaan Malaysia memperuntukkan hak individu tetapi tertakhluk kepada syarat-syarat tertentu umpamanya ketenteraman awam, kesihatan awam dan moral yang merupakan hak ramai.

Kita akan mendapat perspektif yang lebih jelas dengan merujuk secara mikroskopik terhadap salah satu kebebasan asasi yang dijamin oleh Perlembagaan Malaysia. Perkara 10 antaranya memberi hak bebas bercakap, mengeluarkan fikiran, berhimpun secara aman dan dengan tidak bersenjata serta menubuhkan persatuan kepada semua warganegara Malaysia.

Menurut pandangan seorang ahli akademik, Harding, Perkara 10 sebenarnya bukan memberi hak tersebut tetapi mengambil balik hak tersebut. [7]

Hak-hak yang tersebut di atas sebenarnya tertakluk kepada Perkara 10(2) di mana Parlimen diberi kuasa untuk mengawal hak tersebut dan ia boleh dikurangkan melalui Akta-akta Parlimen berasaskan lapan alasan. Alasan-alasan tersebut ialah kepentingan keselamatan Persekutuan, perhubungan persahabatan dengan negeri lain, ketenteraman awam, keistimewaan Parlimen dan Dewan Negeri, penghinaan terhadap mahkamah, akhlak, fitnah atau perbuatan mengapi-api supaya dilakukan suatu kesalahan serta mempersoalkan kedudukan yang dilindungi di bawah Bahagian 3, Perkara 152,153 dan 181.

Kelapan-lapan alasan tersebut boleh dikategorikan secara umumnya di bawah hak ramai. Dengan itu, Perkara 10 walaupun memberikan hak kepada individu tetapi tertakhluk kepada lapan hak ramai.

Jika dibandingkan dengan Konvensyen Eropah mengenai Has Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi 1950 yang menggariskan bahawa kebebasan bercakap hanya dibataskan di mana diperlukan di bawah satu masyarakat demokratik, kebebasan bercakap yang diberi di bawah Perlembagaan Malaysia adalah terbatas secara relatifnya.

Walau bagaimanapun, seperti yang dinyatakan oleh Prof Dr Shad Saleem Faruqi, penghayatan hak asasi manusia ialah satu perjalanan dan bukan satu destinasi memandangkan hak asasi manusia bukanlah sesuatu yang statik. [8] Ancaman yang baru akan menimbulkan keperluan yang baru. Dengan peredaran masa, maka satu satu penghayatan semula tentang teori hak asasi manusia diperlukan. Malaysia juga tidak terkecuali daripada perubahan paradigma sejagat.

Di bawah Seksyen 2, Akta Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia 1999 (Akta 597), pengertian hak asasi manusia merujuk kepada kebebasan asasi yang termaktub dalam Bahagian II, Perlembagaan Malaysia.

Seksyen 4(4) Akta 597 juga memperuntukkan bahawa rujukan harus dibuat kepada Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat 1948 setakat yang tidak berlawanan dengan Perlembagaan Persekutuan. Ini bermakna hak asasi manusia yang tidak disebut dalam Bahagian II tetapi dimaktubkan dalam Perisytiharan Hak Asasi Manusia 1948 harus dirujuk setakat tidak berlawan dengan Perlembagaan Persekutuan.

Secara adatnya, Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat 1948 dianggap sebagai undang-undang antarabangsa yang mengikat. Dengan terteranya Akta Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia 1999, konsep hak asasi manusia di Malaysia telah diperluaskan sejajar dengan perkembangan sejagat.

Walaupun terdapat 28 perkara di bawah Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat 1948 yang menjamin hak asasi individu, terdapat satu klausa khas iaitu Perkara 29 yang menyebut bahawa setiap orang tertakluk hanya kepada batasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang semata-mata bagi tujuan menjamin pengiktirafan dan penghormatan yang sepatutnya terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk mendekati keperluan-keperluan sepatutnya bagi akhlak, ketenteraman awam dan kebajikan umum dalam suatu masyarakat yang demokratik. [9]
Di bawah Kovenan Antarabangsa Hak-Hak Sivil dan Politik, idealisme manusia bebas untuk menikmati kebebasan sivil dan politik hanya dapat dicapai sekiranya memenuhi syarat-syarat asas yang membolehkan seorang menikmati hak sivil, politik, ekomomi, social dan kebudayaan. Di bawah perkara 4 Kovenan tersebut telah dinyatakan bahawa di bawah keadaan darurat yang mengancam keselamatan negara dan telah diisytiharkan secara rasmi, negara yang menandatangani Kovenan tersebut boleh mengambil langkah mengurangkan obligasinya dalam Kovenan itu tertakluk kepada keperluan semasa dengan syarat langkah-langkah itu bukan tidak konsisten dengan obligasi-obligasi lain di bawah undang-undang antarabangsa dan tidak melibatkan diskriminasi atas alasan bangsa, warna kulit, jantina, bahasa, agama serta asal-usul seseorang. Dinyatakan juga terdapat hak-hak individu yang tidak boleh dikurangkan dalam apa-apa keadaaan seperti hak terhadap nyawa (Perkara 6), larangan terhadap hukuman berbentuk kejam (Perkara 7), larangan pengabdian (Perkara 8), larangan pemenjaraan atas alasan tidak dapat memenuhi obligasi kontrak (Perkara 11), hak perlindungan daripada undang-undang jenayah yang berkuatkuasa kebelakangan (Perkara 15), hak sebagai seorang manusia di bawah apa-apa undang-undang di mana jua (Perkara 16) serta kebebasan agama (Perkara 18). [10]

Walaupun piawaian dalam imbangan antara hak ramai dan hak individu adalah berbeza mengikut satu negara daripada negara lain, tetapi terdapat satu perkara yang umum iaitu terdapat peruntukan yang mengiktiraf bahawa hak individu boleh disekat demi kepentingan hak ramai.


Tinjauan terhadap Keputusan Kehakiman yang bersangkutan dengan Hak Asasi Manusia di Malaysia

Bagi individu, mahkamah merupakan harapan terakhir untuk mengutarakan kes pencabulan hak asasi manusia. Dengan meninjau kes-kes yang telah diputuskan di mahkamah Malaysia, kita dapat menkaji pendekatan cabang kehakiman terhadap imbangan antara hak ramai dan hak individu.

Dalam kes Re Susie Teoh [11], Hakim Mahkamah Tinggi YA Abdul Malek, memutuskan bahawa seorang bapa tidak mempunyai kuasa di bawah Akta Penjagaan Anak 1961 untuk memilih agama bagi anaknya. Anaknya mempunyai hak di bawah Perkara 11(1) Perlembagaan Persekutuan untuk memilih agamanya sendiri. Ringkasnya, seseorang bukan Islam yang berumur di bawah umur 18 tahun boleh menentukan agamanya sendiri dan tidak tertakluk kepada kehendak penjaganya.

Tetapi, keputusan ini dibalikkan di Mahkamah Agung.[12] Di Mahkamah Agung telah diputuskan di bawah semua keadaan, demi kepentingan negara yang lebih utama (in the wider interests of the nation), seseorang minoriti[13] tidak mempunyai hak automatik untuk menerima ajaran berkaitan sesuatu agama tanpa kebenaran ibu bapa atau penjaganya. Dalam keputusan ini, kepentingan ramai mengatasi hak seorang kanak-kanak untuk memilih agamanya yang dijamin di bawah Perkara 11.

Dalam satu kes yang lain, kes Hajjah Halimatussadiah[14], mahkamah memutuskan hak seorang kakitangan awam untuk memakai purdah adalah tertakhluk kepada perintah perkhidmatan awam. Dengan ini, hak ramai mengatasi hak individu seorang untuk memilih cara berpakaian demi alasan untuk mengekalkan disiplin di perkhidmatan awam.

Menurut keputusan kes Susie Teoh dan kes Hajjah Halimatussadiah, adalah jelas terdapat kecenderungan untuk memberi tempat yang lebih utama kepada hak ramai daripada hak individu.


Dalam kes Lau Dak Kee lwn Pendakwaraya[15], Mahkamah Tinggi telah memutuskan bahawa hak kebebasan bercakap adalah tertakhluk kepada undang-undang yang diluluskan di Parlimen.

Dalam kes Madhavan Nair lwn Pendakwaraya[16], Mahkamah Tinggi telah mengisytiharkan bahawa mahkamah tidak mempunyai bidangkuasa untuk menyoal penggunaan perkataan subjektif seperti “perlu” dan “mustahak” di bawah Perkara 10(2) Perlembagaan Perlembagaan Persekutuan. Selama Parlimen memenuhi keperluan prosedur dalam meluluskan undang-undang untuk mengongkong kebebasan bercakap, maka undang-undang itu tidak dapat dicabar atas alasan terlampau kongkong atau tidak munasabah.

Di bawah Perlembagaan India, terdapat keperluan untuk membuktikan bahawa batasan terhadap hak asasi manusia mesti munasabah. Di Mahkamah Malaysia, ujian yang diguna bukan kemunahsabahan tetapi samada pencabulan hak asasi tersebut adalah d bawah kuasa undang-undang yang dibenarkan. Adalah jelas bahawa kedudukan mahkamah Malaysia dalam kes pencabulan hak asasi manusia adalah berbeza dengan kedudukan mahkamah di India. [17]



Locus Standi

Dalam memperihalkan hak individu dan hak ramai, kita harus menkaji penerima pakai piawaian locus standi.

Di bawah Common Law, locus standi merujuk kepada hak seseorangan untuk memulakan pembicaraan di mahkamah. Dalam kes England, R lwn Commissioner of Police for the Metropolis ex p. Blackburn[18], Lord Denning memutuskan akan menidakkan locus standi kepada seseorang penyibuk yang menyentuhi hal yang tidak berkaitan dengannya tetapi akan memberikan locus standi kepada sesiapa yang mempunyai isu benar di mana sesuatu yang dilakukan atau bakal berlaku mempunyai kesan ke atasnya.

Di kes-kes yang diputuskan di Malaysia, , kes Lim Cho Hock lwn Kerajaan Negeri Perak [19], mahkamah telah memutuskan bahawa bahawa plaintiff mempunyai locus standi di bawah alasan beliau mempunyai kepentingan persendirian yang benar untuk membawa kes tersebut.

Walau bagaimanapun, piawaian locus standi yang digunakan tidak dilanjutkan kepada seorang ahli politik walaupun beliau mengemukakan alasan bahawa dia seorang pengguna jalan serta pembayar cukai. Kes United Engineers (M) Berhad lwn Lim Kit Siang [20], mahkamah Aguong memutuskan ahli politik tersebut tiada locus standi.

Dalam kedua-dua kes tersebut, nyata menunjukkan bahawa hak individu adalah dilindungi berasaskan kepentingan persendirian yang sebenar tetapi tidak terpakai untuk seorang wakil rakyat yang membawa kes tersebut berdasarkan kepentingan ramai.

Walaupun kes ini bukan berkenaan pencabulan hak asasi, keputusan tersebut secara tersiratnya bererti remedi terhadap pencabulan hak asasi diberi kepada individu yang mempunyai kepentingan persendirian sahaja.


Penutup:

Di Malaysia, konsep undang-undang [21] adalah ditakrifkan di bawah Perkara 160(2) Perlembagaan Persekutuan. Tiada terdapat peruntukan spesifik berkenaan undang-undang antarabangsa di bawah Perkara tersebut. Secara tersiratnya, ini bermakna undang-undang antarabangsa bukan sebahagian daripada sumber undang-undang bagi Malaysia.

Dalam ketika Malaysia berkembang menuju ke arah Wawasan 2020 untuk menjadi sebuah negara maju, seharusnya terdapat satu usaha untuk mengikut arahtuju undang-undang antarabangsa. Undang-undang antarabangsa berkenaan Hak Asasi manusia merupakan satu jurisprudens yang tidak dapat dielakkan sekirannya Malaysia ingin berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara-negara maju yang lain.

Seperti yang dicadangan oleh Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia (SUHAKAM)[22], kerajaan harus mengambil langkah untuk menandatangani serta mengambil langkah ratifikasi terhadap 2 kovenan penting iaitu Kovenan Antarabangsa Hak-Hak Sivil dan Politik serta Kovenan Antarabangsa Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila menandatangani serta mengambil langkah ratifikasi kedua-dua dokumen penting itu ialah undang-undang domestik Malaysia yang terlalu berpusatkan hak ramai harus diberi kelonggaran.

Dalam satu zaman globalisasi serta perkembangan teknologi yang pesat, model perundangan yang terlalu berpandukan hak ramai tidak dapat memenuhi cabaran zaman. Dalam era ini, hak individu seperti hak terhadap rahsia diri, hak mendapatkan maklumat dan sebagainya harus diberi perhatian baru.

Konsep kontrak sosial yang diutarakan oleh Rosseau 2 abad lalu harus mendapat penghayatan semula. Ruang pergerakan manusia tidak terbatas lagi kepada ruang fizikal. Hari ini, transaksi perniagaan atau pembelajaran boleh dijalankan di Internet tanpa pertemuan fizikal. Apa yang penting ialah pertemuan minda yang tidak mengira ruang fizikal. Dengan itu, konsep hak ramai perlu diberi definisi baru. Satu titik imbangan baru antara hak ramai dan hak individu harus dicari.




[1] Kamus Dewan Edisi Baru 1989 terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka ms 394.
[2] R.H. Hickling, Malaysian Public Law ms 117
[3] Perisytiharan Islam mengenai Hak Asasi Manusia (Universal Islamic Declaration of Human Rights) http://ww.alhewar.com/ISLAMDECL.html
[4] Nota Huraian 2: Perisytiharan Islam mengenai Hak Asasi Manusia.
[5] Nota Huraian 3: Perisytiharan Islam mengenai Hak Asasi Manusia.
[6] Kevin Tan Yew Lee , Yeo Tiong Ming & Lee Kiat Seng Constitutional Law in Malayisa and Singapore, Malayan law Journal, 1991, ms 420
[7] Harding,A. : Law, Government and the Constitution in Malaysia, Malayan Law Journal, 1996 ms 189
[8] Sunday Star December 3, 2000
[9] Perisytiharan Hak Asasi Manusia Sejagat http://www.unhchr.ch/udhr/lang/mli.htm
[10] Kovenan Antarabangsa Hak-Hak Sivil dan Politik http://heiwww.unige.ch/humanrts/instree/b3ccpr.hmt
[11] [1986] 2 MLJ 228
[12] Teoh Eng Huat lwn Kadhi, Pasir Mas [1990] 2 MLJ 301
[13] Mengikut Seksyen 2, Akta Majoriti 1971, seorang yang dewasa ialah mereka yang mencapai umur 18 tahun.
[14] Halimatusaadiah lwn Suruhanjaya Perkhidmatan Awam Malaysia [1992] 1 MLJ 513 (HC), [1994] 3 MLJ 61 (SC)
[15] [1976] MLJ 229
[16] [1975]2 MLJ 264
[17] Kevin Tan Yew Lee , Yeo Tiong Ming & Lee Kiat Seng Constitutional Law in Malayisa and Singapore, Malayan law Journal, 1991 ms 791)
[18] [1968] 2 QB 241
[19] [1980] 2 MLG 148
[20] [1988] SCR
[21] Perkara 160(2): “Undang-undang teramsuklah undang-undang bertulis, common law setakat mana ianya berkuatkuasa dalam Persekutuan atau mana-mana bahagiannya, dan apa-apa adat atau kelaziman yang mempunyai kuatkuasa undang-undang dalam Persekutuan atau mana-mana bahagiannya.
[22] Laporan Tahunan 2000 Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia, ms 28.

Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia:Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
oleh James W. Nickel
Bagian:

3. Hak-Hak Internasional
Perbedaan ketiga antara hak asasi manusia yang berlaku sekarang dan hak-hak kodrati pada abad kedelapan belas adalah bahwa hak asasi manusia telah mengalami proses internasionalisasi. 11 Hak-hak ini tidak hanya diwajibkan secara internasional -- sesuatu yang bukan merupakan hal baru -- melainkan saat ini hak tersebut juga dipandang sebagai sasaran yang layak bagi aksi dan keprihatinan internasional. Meski hak kodrati pada abad kedelapan belas juga sudah dilihat sebagai hak bagi semua orang, hak-hak ini lebih sering berlaku sebagai kriteria untuk membenarkan pemberontakan melawan pemerintah yang ada, ketimbang sebagai standar-standar yang bila dilanggar oleh pemerintah akan dapat membenarkan adanya pemeriksaan dan penerapan tekanan diplomatik serta tekanan ekonomi oleh organisasi-organisasi internasional. Kendati negara tetap berkehendak mempertahankan kedaulatannya dan ingin mencegah kalangan luar agar tidak melakukan campur tangan ke dalam urusan-urusan mereka, prinsip bahwa pemeriksaan internasional dan sanksi nonmiliter dapat dibenarkan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berskala besar, kini memiliki kedudukan yang mantap. 12
Saat ini sistem paling efektif bagi penegakan internasional terhadap hak asasi manusia ditemukan di Eropa Barat, yakni di dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi ini memberikan sebuah pernyataan hak asasi manusia, Komisi Hak Asasi (Human Rights Commission) untuk memeriksa keluhan-keluhan, dan Mahkamah Hak Asasi Manusia (Human Rights Court) untuk menangani persoalan-persoalan interpretasi. Setiap negara yang meratifikasi Konvensi Eropa harus mengakui kewenangan Komisi Hak Asasi Manusia untuk menerima, memeriksa, dan menengahi keluhan-keluhan dari negara-negara anggota lainnya tentang pelanggaran hak asasi manusia. Pertanggungjawaban terhadap keluhan-keluhan yang diajukan oleh individu bersifat pilihan, sebagaimana prosedur untuk merujukkan seluruh persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh komisi itu kepada Mahkamah Hak Asasi Manusia.
Komisi Hak Asasi Manusia, yang menerima beratus-ratus keluhan setiap tahun mempelajari apakah keluhan itu dapat diterima, serta memeriksa dan menengahi keluhan yang memang dapat diterima. Negosiasi yang didasari oleh semangat persahabatan dengan pihak-pihak yang terlibat merupakan prosedur standar, namun bila ini gagal, suatu perkara dapat diajukan ke Mahkamah Hak Asasi Manusia atau ke Komite Menteri (Committee of Ministers) di Dewan Eropa. Komisi dan Mahkamah hak asasi manusia itu saat ini sudah menangani banyak kasus serta telah menyusun kerangka prosedur dan peraturan yang cukup banyak. Secara umum mereka telah maju dengan sangat hati-hati, namun kehati-hatian ini telah dihargai lewat kepercayaan negara-negara anggotanya terhadap integritas sistem ini dan oleh kesediaan terus-menerus dari badan-badan tersebut untuk menerima pembatasan kedaulatan yang disyaratkan oleh sistem ini.
Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), yang dibentuk di PBB, juga menyediakan prosedur -- meski lebih lemah ketimbang prosedur dalam Konvensi Eropa -- bagi perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Perjanjian ini menciptakan Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) untuk mengawasi kepatuhan, sebuah Komite dengan tiga fungsi pokok. Fungsi pertama adalah untuk mengkaji laporan-laporan dari negara-negara yang tunduk pada Perjanjian itu yang disyaratkan guna menyampaikan "langkah-langkah yang telah mereka ambil yang memberikan pengaruh pada hak-hak yang diakui disini dan mengenai kemajuan-kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak ini". Fungsi kedua adalah untuk menerima, mempertimbangkan, dan menengahi keluhan dari suatu anggota bahwa anggota lainnya melanggar ketentuan-ketentuan Perjanjian tersebut. Suatu negara berkedudukan rawan di hadapan tuntutan-tuntutan semacam itu hanya jika ia menerima kewenangan komite itu untuk menerima keluhan. Hanya enam belas dari delapan puluh negara yang sudah meratifikasi perjanjian itu yang bersedia bertanggung jawab terhadap keluhan-keluhan yang diajukan ke Komite. Fungsi ketiga Komite ini adalah untuk menerima, mempertimbangkan dan menengahi keluhan-keluhan dari individu-individu yang berdiam di negara yang melanggar kewajiban-kewajibannya. Protokol yang bersifat pilihan yang menunjukkan kesediaan Komite Hak Asasi Manusia untuk menerima keluhan-keluhan individual semacam itu telah mendapatkan tanda tangan yang cukup untuk dapat diberlakukan. Masih harus dilihat seberapa efektif Komite ini menegakkan norma-norma Perjanjian tersebut, namun jelas bahwa hanya sedikit, jikalau memang ada, sanksi berat yang ditetapkannya.
Sistem perlindungan hak asasi manusia serupa itu adadi dalam OAS (Organization of American States / Organisasi Negara-Negara Amerika). Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Commission on Human Rights) didirikan pada 1959 dan menjadi organ resmi OAS pada tahun 1970. Komisi ini memainkan peran penting dalam usaha untuk menyelidiki serta membeberkan pelanggaran hak di Amerika Latin sepanjang dekade tujuh puluhan. Pada 1969 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (American Convention on Human Rights) disahkan lewat sebuah konferensi khusus yang disponsori OAS. 13
Konvensi Amerika memperoleh ratifikasi yang cukupuntuk mulai diberlakukan pada tahun 1978. Konvensi ini melahirkan dua institusi, Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (Inter-American Court of Human Rights). Komisi ini merupakan pengganti bagi komisi yang pernah dibentuk pada 1959 dan komisi ini berpijak pada piagam OAS maupun pada konvensi tersebut. Ini menggabungkan peranan pendahulunya dengan fungsi-fungsi yang diberikan konvensi itu. Mahkamah tersebut menyelenggarakan pertemuan pertamanya pada 1979 dan sejak itu sudah mengeluarkan sejumlah pendapat yang bersifat Saran. Pada Maret 1986 Mahkamah ini menerima kasus litigasi pertamanya. 14
Mahkamah ini terdiri dari tujuh hakim, yang dipilih oleh negara-negara yang telah meratifikasi konvensi itu. Meski sistem Inter-Amerika mirip dengan sistem Eropa dalam banyak hal, konteks sosial dan politik bagi pengoperasiannya sama sekali berbeda. Apalagi, problem hak asasi manusia yang dihadapinya jauh lebih berat. Berdasarkan alasan-alasan- ini, evolusinya bakal menarik untuk disimak. Di Afrika, OAU (Organization of African Unity / Organisasi Persatuan Afrika) baru-baru ini mengesahkan Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat (African Charter on Human and Peoples' Rights). 15 Namun, Di Timur Tengah dan di Asia, institusi-institusi regional yang dibentuk bagi pengembangan hak asasi manusia belum muncul sama sekali.
Kembali ke atas
Bagian:

1
2
3





11. Lihat Louis Henkin, The Rights of Man Today ( Boulder, Colo: Westview Press, 1978), xi-xiii.
12. Tentang intervensi, lihat Richard B. Lillich dan Frank C. Newman, "How Effective in Causing Compliance with Human Bights Law Are Coercive Measures That Do Not Involve the Use of Armed Force?" dalam Lillich dan New man, ed., International Human Rights: Problems of Law and Policy (Boston: Little, Brown, 1979),1979, 3tS8-482; atau Richard B. Lillich, "Intervention to Protect Human Rights," McGill Law Journal 15 (1969) 205-219.
13. Untuk diskusi mengenai Inter-American Commission lihat, antara lain, "Regional Approaches to Human Rights: The Inter-American Experience: A Panel (Burgenthal, Vargas Carreno, Schneider, Armstrong, Oliver)," American Society of International Law Proceedings 72 (1978): 197-223; C.S. White IV, "Practice and Pleadings Before the Inter-American Commission on Human Rights: Human Rights 4 (Musim Panas 1975): 413-431; Robert E. Norris, "Observation in Loco: Practice and Procedure of the Inter-American Commission on Human Rights," Texas International Law Journal 15 (1980): 46-95; dan Anna P. Schreiber, The Inter-American Commission on Human Rights (Leiden: Sigthoff, 1970).
14. Naskah American Convetion termuat di dalam Brownlie, ed., Basic documents on Human Rights, 3990427. Untuk tulisan mengenai pengadilan hak asasi manusia, lihat artikel-artikel dari Thomas Buergenthal: The Inter-American Court of Human Rights, American Journal of International Law 76 (1982): 235-245; dan "The Advisory Practice of the Inter-American Human Rights Court," American Journal of International Law 79 (1985): 1-27. Lihat juga Manuel D. Vargas, "Individual Access to the Inter-American Court of Human Rights," International Law and Politics 16 (1984): 601-617.
15. Lihat B. Obinna Okere, "The Protection of Human Rights in Africa and the African Charter on Human and Peoples' Rights: A Comparative Analysis with the European and American Systems," Human Rights Quarterly 6 (1984): 141-159; dan Rhoda Howard, "Evaluating Human Rights in Africa: Some Problems of Implicit Comparisons," Human Rights Quarterly 6 (1984): 160-179.

Jumat, 11 Januari 2008

Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia:Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
oleh James W. Nickel
Bagian:

1
2
3
2. Ciri-Ciri Gagasan Hak Asasi Manusia Kontemporer
Kendati ide mutakhir hak asasi manusia dibentuk semasa Perang Dunia II, pengertian baru tersebut masih tetap menggunakan sejumlah gagasan umum tentang kebebasan, keadilan, dan hak-hak individu. Tidak begitu keliru untuk memandang naik daunnya kosakata hak asasi manusia belakangan ini sebagai penyebarluasan gagasan lama belaka. Gagasan bahwa hukum kodrat atau hukum dari Tuhan mengikat semua orang dan mengharuskan adanya perlakuan yang layak adalah soal kuno, dan gagasan ini erat terkait dengan gagasan tentang hak kodrati di dalam tulisan-tulisan para teroretisi seperti Locke dan Jefferson maupun di dalam deklarasi hak seperti Deklarasi Hak Manusia dan Hak Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Perancis dan Pernyataan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat (Bill of Rights). Gagasan bahwa hak-hak individu berhadapan dengan pemerintah bukanlah hal baru, dan orang dapat mengatakan bahwa gagasan hak asasi manusia yang ada saat ini hanya merupakan pengembangan konsep ini.
Namun kalau kita menganggap bahwa Deklarasi Universal dan Perjanjian Internasional secara umum mewakili pandangan kontemporer mengenai hak asasi manusia, meskipun dapat mengatakan bahwa pandangan tentang hak asasi manusia saat ini memiliki tiga perbedaan dibanding konsepsi-konsepsi sebelumnya, terutama yang berlaku pada abad kedelapan belas. Hak asasi manusia yang ada saat ini bersifat lebih egalitarian, kurang individualistis, dan memiliki fokus intemasional.
Egaliterianisme
Egaliterianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas, pertama, dalam tekanannya pada perlindungan dari diskriminasi, maupun pada kesamaan di hadapan hukum. Meski manifesto-manifesto hak asasi manusia yang lahir pada abad kedelapan belas terkadang juga mencanangkan kesederajatan di depan hukum, perlindungan dari diskriminasi merupakan perkembangan yang baru muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Kemenangan atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis merupakan perjuangan sentral yang lahir pada abad kita. Tuntutan akan persamaan bagi perempuan di seluruh bidang kehidupan juga baru saja ditempatkan di dalam agenda hak asasi manusia. 9
Kedua, egalitarianisme yang terdapat dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia kontemporer dapat dilihat dalam pencantuman hak kesejahteraan. Konsepsi-konsepsi hak politik terdahulu biasanya memandang fungsi hak politik adalah untuk menjaga agar pemerintah tidak mengganggu rakyat. Penyalah gunaan kekuasaan politik dinilai sebagai soal pelanggaran pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan, dan bukan merupakan soal kegagalan pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Kewajiban-kewajiban yang lahir dari hak-hak ini sebagian besar adalah kewajiban negatif (negative duties) -- yaitu kewajiban-kewajiban untuk menahan diri, atau kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu. Kewajiban positif (positive duties) sebagian besar ditemukan dalam kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyat dari gangguan internal dan eksternal.
Hak atas perlindungan hukum (hak atas sidang pengadilan yang adil, kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan dari penganiayaan dan dari hukuman kejam) dipandang sebagai penangkal bagi penyalah gunaan sistem hukum. Penyalahgunaan-penyalahgunaan sistem hukum ini mencakup manipulasi sistem hukum untuk menguntungkan sekutu serta merugikan musuh penguasa, memenjarakan lawan politik, dan memerintah lewat teror.
Hak atas privasi (kehidupan pribadi) dan otonomi (kebebasan dari intervensi terhadap rumah tangga dan korespondensi, kebebasan bergerak, kebebasan memilih tempat tinggal dan lapangan pekerjaan, serta kebebasan berkumpul atau berserikat) dilihat sebagai penangkal bagi intervensi terhadap wilayah pribadi, yang meliputi upaya pemerintah untuk mengawasi bidang kehidupan yang paling pribadi dan untuk mengontrol orang dengan membatasi di mana mereka boleh tinggal, bekerja, dan bepergian.
Hak atas partisipasi politik (hak atas kebebasan berekspresi, atas pengajuan petisi kepada pemerintah, atas pemberian suara, dan atas pencalonan diri untuk jabatan pemerintahan) dinilai sebagai penangkal bagi penyalahgunaan yang berupa upaya untuk menafikan keluhan, menekan perbedaan pendapat dan oposisi, melumpuhkan pembentukan golongan pemilih yang terdidik, serta memanipulasi sistem pemilihan umum guna mempertahankan kekuasaan. Pencegahan berbagai penyalahgunaan ini terutama mengharuskan pemerintah untuk membiarkan rakyatnya bergerak leluasa. Namun lebih dari itu, pemenuhan hak-hak ini mengharuskan adanya pemberian keuntungan positif seperti sidang pengadilan yang adil, pemilihan umum yang bebas, dan perlindungan dari pelanggaran yang dilakukan oleh polisi dan pegawai pemerintah lainnya.
Tetapi sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Marx dan kaum sosialis lainnya, sekalipun pemerintah dibatasi agar tidak melakukan penyalahgunaan yang baru didaftar tersebut, namun problem sosial dan ekonomi seperti perbudakan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, diskriminasi, dan eksploitasi ekonomi tidak bakal bergeming karenanya. Jadi sejak tampilnya Marx, gerakan bagi perubahan sosial mulai menaruh kepedulian besar terhadap masalah-masalah sosial dan ekonomi ini, maupun terhadap pelanggaran hak-hak politik. Hasilnya adalah upaya untuk memperluas lingkup kosakata hak dengan memasukkan problem-problem tersebut ke dalam agenda hak asasi manusia.
Sarana untuk menyalurkan pelayanan-pelayanan yang dituntut oleh hak-hak ini adalah negara kesejahteraan modern, suatu sistem politik yang menggunakan kewenangan perpajakannya atau kontrol ekonominya untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dibutuhkan guna memasok pelayanan-pelayanan kesejahteraan yang esensial bagi seluruh penduduk yang memerlukannya. Kalangan Marxis dan sosialis tidak sendirian dalam upaya pengembangan hak-hak kesejahteraan: "empat kebebasan" dari Roosevelt, misalnya, juga mencakup kebebasan dari hidup berkekurangan.
Rupanya terkandung tiga keyakinan dalam perkembangan tersebut, di mana problem-problem sosial dan ekonomi mulai dilihat sebagai problem-problem yang harus dipecahkan pemerintah dan karenanya, jika tetap tak terpecahkan juga, dipandang sebagai pelanggaran hak-hak politik. Salah satu dari keyakinan ini adalah bahwa kemiskinan; eksploitasi, dan diskriminasi merupakan ancaman bagi kesejahteraan dan martabat manusia, yang sama seriusnya dengan pelanggaran secara sengaja terhadap hak-hak politik tradisional.
Keyakinan kedua adalah bahwa penderitaan manusia dan ketimpangan yang parah bukan merupakan hal yang tak terhindarkan, melainkan merupakan hasil yang lahir dari kondisi sosial, politik dan ekonomi yang dapat diubah sehingga dapat dikenai kontrol moral atau politik. Salah satu dasar bagi pandangan optimis ini adalah tingginya tingkat kemakmuran yang dapat dicapai di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia serta kemunculan sistem yang secara politis efektif untuk memberlakukan hak-hak kesejahteraan di negara-negara ini.
Keyakinan terakhir adalah bahwa sistem politik, ekonomi, dan sosial benar-benar tidak dapat dipisahkan -- atau bahwa kekuasaan pemerintah sering diperalat untuk menciptakandan mempertahankan institusi-institusi ekonomi dan sosial yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Andaikata pemerintah ikut mendukung suatu sistem ekonomi yang memberikan kekayaan berlimpah bagi segelintir orang dan sebaliknya membiarkan sejumlah besar orang berada dalam kesengsaraan, dan andaikata sistem semacam itu sebenarnya bukannya tak terhindarkan dan sebaliknya dapat digantikan oleh sistem yang jauh lebih mendukung bagi kesejahteraan dan martabat setiap orang, masuk akal tampaknya bila pemerintah dapat dituduh atas keterlibatannya dalam kejahatan-kejahatan yang lahir dari sistem yang ada.
Karena keyakinan-keyakinan ini sudah mulai meluas, pemerintah dibebani tugas untuk menyediakan perbaikan-perbaikan lewat pemanfaatan sumberdaya dan kewenangan redistributifnya.
Reduksi Individualisme
Manifesto-manifesto hak yang mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik mengenai hak-hak kodrati. Dokumen-dokumen baru memandang manusia sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat, bukan sebagai individu yang terisolasi yang musti mengajukan alasan-alasan terlebih dulu agar dapat memasuki masyarakat sipil. Deklarasi Universal, misalnya, menyatakan bahwa "Keluarga merupakan unit kelompok masyarakat yang alami dan mendasar, dan berhak atas perlindungan dari masyarakat maupun Negara." Dalam Perjanjian Internasional, hak-hak kelompok telah dimasukkan di dalam kerangka hak asasi manusia dengan memberikan tempat terhormat bagi hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka. Selanjutnya, hak asasi manusia tidak lagi erat dikaitkan dengan teori kontrak sosial, meski John Bawls telah mencoba untuk membangun kembali kaitan ini. 10 Di dalam dokumen-dokumen mutakhir hak asasi manusia hanya terdapat sedikit acuan pada dasar-dasar filosofis. Upaya-upaya selepas perang untuk merumuskan norma-norma hak asasi manusia internasional telah mengarah pada perpecahan filosofis dan ideologis yang tak dapat dipulihkan kembali. Dalam upaya menghimpun dukungan sebanyak mungkin untuk gerakan hak asasi manusia, landasan filosofis bagi hak asasi manusia sayangnya dibiarkan tak terumuskan.

HAM DALAM KONSTITUSI, UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA


HAM DALAM KONSTITUSI, UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA
Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan di dalam UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal, yakni dari pasal 2 sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir sama dengan yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights.
Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM, namun kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah Undang-undang antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang banyak mencantumkan ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam Pembukaan UUD 45 didapati suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang berbunyi, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Timbul pertanyaan bagaimana dapat menegakkan HAM kalau di dalam konstitusinya tidak diatur secara lengkap ? Memang di dalam UUD 1945 ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang HAM relatif terbatas tetapi hal ini tidak akan menghambat penegakan HAM karena sudah diperlengkapi dengan Undang-undang lain, seperti UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM dan peraturan perundangan lainnya.
Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasal-pasal HAM ke dalam Konstitusi UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan satu bab khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengani hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Adapun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)
Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah (Pasal 28 B ayat 1)
Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)
Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat 1)
Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)
Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C ayat 2)
Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)
Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)
Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat 3)
Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)
Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E ayat 1)
Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)
Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)
Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1)
Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)
Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat 3)
Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)
Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal 28 G ayat 1)
Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)
Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)
Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)
Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28 H ayat 2)
Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)
Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28 H ayat 4)
Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I ayat 1)
Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)
Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)

PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA

PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA
Secara umum di dunia internasional pembidangan Hak Asasi Manusia mencakup hak-hak sipil dan hak-hak politik (generasi I), hak-hak bidang ekonomi, sosial dan budaya (generasi II) serta hak-hak atas pembangunan (generasi III). Hak-hak tersebut bersifat individual dan kolektif.
Hak-hak sipil dan politik (generasi I)
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (generasi II)
Hak-hak pembangunan (generasi III)
Hak-hak Sipil dan Politik (Generasi I)
Hak-hak bidang sipil mencakup, antara lain :
Hak untuk menentukan nasib sendiri
Hak untuk hidup
Hak untuk tidak dihukum mati
Hak untuk tidak disiksa
Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
Hak atas peradilan yang adil
Hak-hak bidang politik, antara lain :
Hak untuk menyampaikan pendapat
Hak untuk berkumpul dan berserikat
Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum
Hak untuk memilih dan dipilih
Back to Top
Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (Generasi II)
Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain :
Hak untuk bekerja
Hak untuk mendapat upah yang sama
Hak untuk tidak dipaksa bekerja
Hak untuk cuti
Hak atas makanan
Hak atas perumahan
Hak atas kesehatan
Hak atas pendidikan
Hak-hak bidang budaya, antara lain :
Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
Hak untuk memeproleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)
Back to Top
Hak Pembangunan (Generasi III)
Hak-hak bidang pembangunan, antara lain :
Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai
Back to Top